Rumah Hikmah News Casa Andara Residence Cluster Green Nature

Header

Korupsi Kolektif itu bernama Inflasi


Seorang professor di Frankfurt School of Finance and Management – Germany, Prof. Thorsten Polleit belum lama ini mengungkapkan teorinya bahwa faham demokrasi yang dianut di hampir seluruh dunia saat ini telah membawa dampak korupsi kolektif yang sangat besar yaitu berupa inflasi. Dengan tingkat keilmuan beliau – yang dipercaya sebagai Chief German Economist for Barclay Capital  selama 12 tahun - tentu teori tersebut bukan  teori yang tanpa dasar.

Demokrasi yang mengandalkan suara terbanyak membuat pemerintah-pemerintah di dunia berusaha memenuhi apa yang dikehendaki oleh rakyat banyak. Pemerintah atau penguasa berkepentingan dengan perolehan suara, sehingga beresiko terhadap kelangsungan keterpilihan mereka bila tidak merespon keinginan terbanyak ini.

Masalahnya adalah keinginan masyarakat terbanyak ini belum tentu yang terbaik dan yang benar bagi kepentingan keseluruhan negeri dalam jangka panjang. Masyarakat kebanyakan akan cenderung mengharapkan hasil jangka pendek, bukan solusi yang memerlukan kerja keras dan membawa kebaikan jangka panjang.

Dalam kaitan dengan pencetakan uang misalnya, jauh lebih mudah bank-bank central dunia berkolaborasi dengan pemerintah masing-masing mencetak uang lebih banyak lagi untuk mengatasi masalah-masalah sesaat yang menjadi perhatian publik – ketimbang mencari solusi permanen dan terbaik jangka panjang yang membuat jidat mengkerut !.

Teori Prof. Thorsten Polleit ini nampaknya bisa kita saksikan langsung kebenarannya baik di negeri yang mengaku adikuasa seperti Amerika maupun apa yang kita alami di negeri ini.

Di Amerika saat ini yang menjadi isu besar adalah debt ceiling limit – batas atas hutang yang boleh dilakukan oleh pemerintah. Batas atas hutang sebesar US$ 16.4 trilyun yang diputuskan sekitar 1.5 tahun lalu tersebut kini sudah habis terpakai. Negeri itu dalam bahaya bila batas atas baru tidak berhasil disepakati antara eksekutif dan legislatif-nya dalam dua bulan ini.

Solusi yang akhirnya nanti dicapai tentu yang populer di pasar dan di rakyatnya yaitu menaikkan batas atas pinjaman ini, karena bila pinjaman dapat dinaikkan maka kehidupan masyarakat dan dunia usaha akan bisa berlanjut sebagaimana biasa - life as usual.

Tetapi masalahnya adalah apakah ini solusi terbaik ?, solusi yang bersifat permanen jangka panjang ?. Jawabannya adalah bukan solusi terbaik, ibarat orang sakit hanya dihilangkan rasa sakitnya tetapi tidak diobati penyakitnya. Buktinya mudah sekali kambuh lagi, baru 1.5 tahun lalu penyakit yang sama diusahakan mati-matian diobati – sekarang sudah kambuh lagi.

Logika sederhananya adalah kalau tetangga Anda hidup mewah dengan credit card tetapi setiap saat dikejar-kejar debt collector, ketika mereka datang kepada Anda minta tolong – lantas solusinya apakah Anda menolong dengan meminjami mereka dengan credit card Anda, atau menasihatinya untuk hidup sesuai kemampuannya ?.

Yang pertama mudah dan menyenangkan tetapi membawa bahaya ke Anda juga dalam jangka panjang. Yang kedua pahit, membuat Anda tidak populer dihadapan tetangga Anda – tetapi itulah yang benar dan bisa menyembuhkan.

Hampir pasti solusi yang akan ditempuh Amerika adalah solusi pertama karena di masyarakat demokrasi mereka, pemerintah perlu populer meskipun dengan ini tumpukan hutang akan meninggi dan bebannya kembali ke rakyat dalam jangka panjang - hanya tidak atau belum disadari saja.

Hutang yang bertambah mendorong pencetakan uang yang lebih banyak, uang yang ada di masyarakat akan turun daya belinya secara menyeluruh – dan inilah inflasi yang menjadi korupsi kolektif itu. Inflasi menjadi instrumen legal untuk mengambil kekayaan masyarakat dengan paksa dan tanpa bisa dilawan, mudah dan yang diambil hartanya tidak segera merasa kehilangan .

Contoh kasus berikutnya adalah yang kita alami di Indonesia. Karena kita menganut demokrasi yang kurang lebih sama dengan yang di Amerika, maka keputusan-keputusan yang diambil oleh eksekutif dan legislatif kita juga cenderung untuk menyenangkan masyarakat banyak dalam jangka pendek.

Ambil misalnya krisis subsidi bahan bakar, keputusannya cenderung untuk menambah subsidi untuk mampu menekan harga bahan bakar sesaat – karena ini yang mudah, populer dan diharapkan oleh masyarakat banyak. Tetapi menambah subsidi ini kan bukan menyembuhkan penyakit ? dia hanya mengurangi rasa sakit sesaat.

Upaya penyembuhan penyakit yang sesungguhnya perlu kerja keras yang bisa pahit , tidak populer dan hasilnya jangka panjang. Hasil jangka panjang inilah yang tidak sesuai dengan kepentingan demokrasi – karena saat penyakit tersebut benar-benar sembuh sudah orang atau partai lain lagi yang mendapat gilirannya untuk berkuasa dan mendapatkan kredit-nya.

Kasus yang mirip dengan subsidi bahan bakar tersebut adalah masalah impor kebutuhan bahan pokok kita seperti kedelai , daging dlsb. Masih terngiang di ingatan kita bagaimana produsen tahu dan tempe menjerit atas tingginya harga kedelai ? apa solusinya ? solusinya impor yang lebih banyak.

Sesaat kemudian pedagang daging menjerit dengan tingginya harga daging, apa solusinya ? lagi-lagi membuka kran impor yang lebih banyak. Ini semua adalah obat penghilang rasa sakit dan bukan penyembuh penyakit.

Penyakitnya sendiri kambuh dalam skala yang lebih besar dengan wabah yang lebih luas.  Berupa apa ?, inilah defisit neraca perdagangan yang dialami negeri ini tahun 2012 lalu. Ini adalah defisit pertama sejak defisit terakhir 52 tahun lalu atau tepatnya tahun 1961.

Mengapa defisit neraca perdagangan ini ibarat penyakit adalah wabah yang lebih serius dan meluas ? Karena meskipun mungkin gejalanya tidak atau belum kita rasakan – tetapi defisit ini akan menggerus nilai kekayaan siapa saja yang hidup di negeri defisit.

Karena kita lebih banyak mengkonsumsi daripada memproduksi, maka kembali ki ibarat rumah tangga Anda – apa yang terjadi bila belanja keluarga Anda lebih besar dari pendapatan Anda ?, makin lama makin miskin dan hutang akan semakin banyak.

Kalau sudah penyakit defisit ini kambuh, upaya penyembuhannya-pun bisa menyakitkan. Untuk mengurangi impor dan meningkatkan daya saing ekspor misalnya, salah satu instrumen yang biasa dipakai otoritas moneter adalah dengan menurunkan nilai uang kita.

Dengan cara ini barang-barang impor akan bertambah mahal dan kurang menarik, sebaliknya barang-barang ekspor kita terasa murah oleh uang negeri pengimpor.

Karena strategi menurunkan daya beli uang ini juga diketahui oleh seluruh negara lain di dunia, maka mereka berlomba menurunkan daya beli uangnya untuk bisa memenangkan persaingan pasar ekspor produk mereka masing-masing. Perlombaan menurunkan daya beli uang inilah yang sering disebut currency war – perang mata uang itu, perang untuk saling membanting harga uang !.

Siapa korban perang dari currency war ini ?, lagi-lagi adalah rakyat kebanyakan. Kekayaan mereka yang tersimpan dalam bentuk tabungan, deposito, asuransi, dana pensiun, tunjangan hari tua, dana kesehatan dlsb – semua yang terdenominasi dalam mata uang yang terlibat dalam currency war secara langsung maupun tidak langsung – menurun daya belinya. Inilah korban korupsi kolektif yang bermula dari demokrasi yang kemudian membawa kepada keputusan yang inflatif.

Lantas bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari menjadi korban korupsi kolektif yang diteorikan oleh Prof. Thorsten Polleit tersebut di atas ?.

Pertama kita harus sadar dahulu bahwa kita sedang menjadi korban itu. Caranya adalah dengan mengecek penghasilan Anda, tabungan Anda, dana pensiun Anda dlsb. Apakah nilainya meningkat bila diukur dengan satuan yang baku – universal unit of account - atau malah menurun, bila ternyata menurun berarti Anda telah ikut menjadi korban korupsi kolektif itu.

Untuk mengecek pergerakan asset Anda tersebut dapat Anda gunakan Kalkulator Dinar di menu situs ini.

Setelah ternyata Anda juga menjadi korban korupsi kolektif ini, maka amankan aset Anda dari Wealth Reducing Assets (aset-aset yang menjadi korban korupsi kolektif) menjadi Wealth Preserving Assets – yaitu aset-aset yang mampu mempertahankan kemakmuran pemiliknya. Yang kedua ini bisa Dinar/emas, property dan aset-aset riil lainnya yang terjaga nilainya.

Tahap berikutnya adalah mengupayakan agar aset-aset Anda menjadi Wealth Producing Assets, yaitu aset-aset yang meningkatkan kemakmuran Anda melalui usaha, perdagangan, pertanian, peternakan dlsb.

Tidak mudah, perlu kerja keras dengan berurai keringat dan kadang juga air mata, pahit dlsb. tetapi itulah obat yang sesungguhnya. Bukan sekedar penghilang rasa sakit, tetapi insyaAllah bener-bener menyembuhkan penyakit. InsyaAllah kita bisa menghindarkan diri dari menjadi korban masal dari wabah penyakit korupsi kolektif itu. InsyaAllah.

Tulisan terkait: